Tuesday 10 November 2009

Antara Manasik Haji Rasul dengan Toleransi

Kamis, 5 November 2009, disela-sela kesibukan saya mengejar target skripsi yang harus saya selesaikan sebelum keberangkatan saya ke tanah suci, saya menyempatkan diri untuk hadir di kajian Dzuhur kantor. Kebetulan uztad pemateri kajian adalah Ust. Ade Purnama yang terkenal dengan pembahasan masalah fiqh seputar kegiatan sehari-hari. Eh ternyata eh ternyata, tema kajian kali ini adalah "Karakteristik Haji Mabrur" ... wah sesuai neeh ...

Saya tidak ingat secara detail isi kajiannya, yang jelas untuk mencapai haji mabrur ada beberapa hal yang harus dipenuhi selama pra, pelaksanaan, dan pasca haji. Ada hal yang menarik saat Ust. Ade membahas untuk mencapai haji yang mabrur adalah melaksanakan haji sesuai dengan tuntunan rasul. Rasul melaksanakan haji hanya sekali sehingga tidak akan ada pertentangan dalam periwayatan haji Rasul. Beberapa hal yang saya ingat tentang manasik haji rasul adalah :

- Hari Tarwaiyah, rasulullah bermalam di mina untuk kemudian menuju arafah pada 9 Dzulhijjah pagi. Sementara jemaah haji dari Indonesia mabit di Arafah, padahal semua jemaah haji selain jemaah haji Indonesia melaksanakan mabit di mina. Entah apa landasan dan pertimbangan Depag memutuskan hal ini.


- Selepas Wukuf di Arafah, jemaah haji bermalam di Muzdalifah sampai pagi, kecuali yang udzur syar'i dapat meninggalkan Muzdalifah setelah lewat jam 12 malam (contoh dari Rasul adalah Rasul memperkenankan wanita lanjut usia dan anak-anak meninggalkan muzdalifah sebelum subuh). Sementara jemaah haji Indonesia hampir kesemuanya hanya mensyaratkan bermalam di Muzdalifah sampai lewat jam 12 malam, padahal jemaah haji Indonesia tidak semuanya nenek-nenek dan anak-anak. Tidak disyariatkan untuk memungut batu di Muzdalifah, namun dalam manasik haji yang umum dilaksanakan jemaah Indonesia adalah memungut batu di muzdalifah dan seolah hal tersebut merupakan suatu ketentuan haji.

- Melempar jumrah di hari tasyrik pada ba'da zawal bagi jemaah haji Indonesia adalah hal yang dilarang dengan alasan keselamatan. Padahal Rasul tidak pernah mencontohkan pelemparan jumrah selain di ba'da zawal.

Hal hal diatas tidak dipertetangkan oleh jumhur ulama karena memang hal-hal itulah yang dilaksanakan oleh Rasul ketika haji wada'. Saya akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa haji memang harus dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasul, jika bukan kepada Rasul, lantas kepada siapakah kita mengambil contoh ? apalagi ini hal yang menyangkut urusan ritual ibadah.

Seusai kajian, langsung saya menemui ustad Ade untuk menanyakan bagaimana cara melaksanakan haji sesuai tuntuan Rasul sementara saya melaksanakan haji secara mandiri yang notabene tidak akan difasilistasi untuk dapat melaksanakan haji sesuai tuntunan Rasul. Dan diluar dugaan, beliau menawarkan saya untuk bergabung dengan rombongan haji beliau yang akan melaksanakan haji sesuai dengan manasik haji Rasul (Ust. Ade merupakan pimpinan salah satu KBIH di Jakarta). Dan selembar kartu nama beliau menjadi salah satu jalan terang saya dalam menapaki haji Rasul.

... Oia, ada hal yang menarik terjadi ketika saya konsultasi dengan Ust. Ade selepas kajian, ada jemaah yang sudah melaksanakan haji bertanya tentang ke-absahan haji yang telah dilaksanakannya yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasul. Dan Ust. Ade dengan bijak hanya menjawab Wallahu Alam ...

Malam harinya kembali saya lakukan diskusi kembali untuk menarik kesimpulan bagaimana nanti haji kami (saya dan kakak saya) akan dilaksanakan. Jika saya semakin mantap untuk bermanasik haji sesuai dengan tuntunan, maka kakak saya juga semakin mantap untuk berhaji sesuai dengan ilmu yang didapat selama bimbingan. Bahkan rencana awal kami sepakat mengambil nafar tsani, berubah menjadi nafar awal karena sebagian besar anggota regu kami adalah lansia yang kemungkinan akan 'bermasalah' jika terlalu lama berada di mina di dalam tenda. Saya kembali diminta untuk berfikir ulang untuk melaksanakan tarwiyah dan manasik lain sesuai tuntunan rasul mengingat kami adalah jemaah termuda dalam regu kami, diharapkan tenaga kami dapat bermanfaat untuk membantu anggota regu lain yang lanjut usia. Kakak saya berpesan, jangan sampai ada pembicaraan yang kurang sedap muncul hanya karena melaksanakan haji sesuai tuntunan Rasul.

Perdebatan berlangsung panas, saya hampir marah waktu kakak saya memvonis saya egois dan hanya memikirkan diri sendiri dan mengacuhkan jemaah lain yang membutuhkan pertolongan kami. Sampai pada suatu kesimpulan bahwa kakak saya akan tetap berhaji bersama regu sesuai manasik haji yang didapat selama bimbingan dan saya akan tetap berusaha mengejar bagaimana untuk melaksanakan haji sesuai dengan tuntunan Rasul, apapun resikonya.

Harapan saya adalah keinginan untuk berhaji sesuai tuntunan Rasul bukan hanya menjadi keinginan saya, namun juga ada jemaah lain yang berkeinginan sama sehingga nanti dapat membentuk rombongan baru untuk melaksanakan haji sesuai manasik Rasul tanpa harus keluar dari rombongan dan bergabung dengan rombongan dari lain. Walaupun saat ini saya harus menelan pil pahit bahwa tidak ada dari regu atau rombongan yang akan melaksanakan haji sesuai manasik Rasul ini.

Ya Allah, kepadaMU hamba memohon, kepadaMU hamba meminta pertolongan ...