Wednesday 23 June 2010

Labaik Allahumma Umratan

Setelah capek dengan urusan koper yang belum semuanya ditemukan dan demi menjada diri supaya tidak melanggar larangan ihram, akhirnya kami seregu plus tambahan satu jemaah memutuskan untuk berangkat ke satu-satunya tempat yang kita idam-idamkan dan tuju selama ini. Tempat dimana kebaikan yang dilakukan didalamnya dilipatgandakan 100ribu kali. Tempat dimana menjadi patokan arah menghadap sholat. Tempat yang menjadi saksi perjuangan Siti Hajar dan Nabi Ismail menegakkan kalimat tauhid. Tempat dimana Rasul dan berjuta tamu Allah berthawaf. MASJID AL HARAM.

Jam sudah menunjukkan jam 10 malam waktu setempat. Entah sudah berapa lama mata ini tidak terpejam. Meski di pesawat sudah beberapa kali terpejam, tapi saya kategorikan merem-merem ayam (artinya mata terpejam tapi belum dapat dikatakan tidur soalnya nggak pake kasur :D -- jangan tanya saya dapat istilah merem-merem ayam dari mana)

Pemondokan sudah sepi karena memang seharusnya jam 9 kami diantar dengan bus menuju Masjidil haram. Jam sudah menunjukkan jam 10, artinya mau tidak mau harus menuju Masjidil Haram swadana dan swadaya.

Kalau ibarat perompak atau pemburu harta karun, nasib mereka mungkin lebih beruntung karena masih punya peta sedangkan kami adalah manusia yang datang dari mana mau ke mana dan berada di daerah mana juga susah untuk dideskripsikan. Tapi seorang muslim tak akan sendirian. Kalo seorang saja nggak sendirian, apalagi kalo bersebelas ? He he he … Satu yang diyakini adalah Alloh yang memerintahkan untuk menghormati dan memulyakan tamu. Jadi apa kita mesti ragu jamuan dan pemulyaan Alloh kepada para tamunya ?

Di sinilah pentingnya materi manasik haji yang tidak difokuskan pada hafalan doa-doa semata tapi juga dibekali dengan teknik hidup dan adaptasi di negeri orang. Beruntung rombongan kami sudah mendapat pembekalan bagaimana teknik-teknik ke masjidil haram jika harus berangkat sendiri.

Oia, maktab kami di Aziziyah Janubiyah sekitar 7 km dan ini masih tergolong dekat karena masih ada yang lebih jauh dari kami. Kontradiktif memang dengan yang digaungkan pemerintah dimana jarak pemondokan terjauh adalah 7 km. Rumah nomor 455 maktab 17 Misi Haji Indonesia.

Setelah semuanya siap, segera kaki-kaki ini melangkah menuju tempat dimana arah sholat dihadapkan. Belum genap langkah ini keluar areal pemondokan kami bertemu dengan jemaah dari kloter lain yang tinggal satu pemondokan dengan kami.

"bapak mau kemana pak ? Mau ke masjid ya pak ? Umrah ?"
"benar pak, kami baru tiba tadi sore"
"wah, bukan maksud mematahkan semangat bapak dan ibu, tapi saya hanya menginformasikan, masjid sedang penuh-penuhnya saat ini. Saya kasian dengan bapak dan ibu yang sudah lanjut kalau harus berdesakan nanti"
"oya ?"
"masya Alloh Pak, benar pak, saya baru dari sana dan kondisinya sudah sangat padat. Saran saya bapak malam ini istirahat saja, besok sebelum subuh bapak berangkat, insyaAlloh kondisinya lebih lengang"

Ketua regu sedikit ragu, tapi ada keyakinan yang terpancar dari wajahnya

"gimana bapak bapak, ibu-ibu ? Kita berangkat atau bagaimana ?"

Dan kami secara aklamasi menjawab "Berangkat Pak"

"maaf lho pak, tapi mungkin dipikirkan lagi, kesian sama yang sudah sepuh"
"wah, nggak papa pak, kita coba kesana dulu, kalo memang tidak memungkinkan ya kita kembali"

Tanpa peta, tanpa kemampuan bahasa arab kami nekat menyetop mobil yang sopirnya terika-teriak "Haram haram haram" tawar menawar pun dilakukan dengan bahasa isyarat. Betapa payahnya kami yang bahkan sekedar hafal angka-angka dalam bahasa arab pun nggak sanggup :D

Akhirnya disepakati perorang 2 SAR. Saya agak ragu dengan angka ini, tapi kisarannya sekitar itu. Si supir pasti tanya dulu ada berapa anggotanya baru menentukan harga. Kalau masih H-7 seperti waktu kedatangan kami waktu itu kisarannya memang sekitar 2-4 SAR per-orang karena masih banyak bis yang beroperasi.

Bagi kami jemaah haji gelombang II akhir yang datang bersamaan dengan banyakknya jemaah haji dari negara lain, memang nggak ada pilihan lain selain langsung umrah begitu tiba di Makkah. Tidak ada pilihan lain karena mau nunggu sampe kapan ? Masjidil Haram akan selalu penuh sesak menjelang puncak haji. Apalagi seminggu sebelum wukuf adalah waktu favorit bagi jemaah dari berbagai negara untuk berumrah karena memang mereka juga baru tiba. Masjidil Haram nggak pernah ada sepinya di waktu-waktu tadi. Hanya saja memang sekitar jam 11an keatas akan lebih lengang daripada saat jam jam sholat.

Singkat kata, nggak perlu saya jelaskan bagaimana kondisi mobilnya (kalo sempat nanti saya coba deskripsikan bagaimana kondisi kendaraan di tanah suci) akhirnya kami tiba di masjid Al Haram dan kami diturunkan di tempat pemberentian penumpang yang ada di bawah tanah. Kami masuk mengikuti laju jemaah lain yang kebanyakan seperti dari Eropa. Naik eskalator, lalu nampaklah salah satu pintu masjidil haram.

Sebenarnya tidak ada sunnah untuk masuk Masjidil Haram melalui Bab As Salam (Babus Salam). Rasulullah memang lewat pintu ini karena memang sesuai dengan arah beliau yang datang dari Madinah waktu itu. Jadi nggak ada paksaan atau keharusan harus masuk melalui Bab As Salam untuk berumrah. Namun kami supaya memudahkan mengingat maka kami putuskan untuk cari Bab As Salam. Padahal didepan kami ada pintu nomor 5 yang sebenarnya nggak ada masalah untuk masuk lewat sana.

Akhirnya kami bertanya pada salah satu polisi yang bertugas. Dan lagi-lagi nggak pake bahasa Arab. Untungnya Bab As Salam itu bahasa arab dan kalau menunjukkan arah cukup dengan tunjukan jari, jadi tidak ada kesulitan bagi kami menemukan Bab As Salam meski harus 2 kali tanya sama petugas yang berjaga disekitar pintu-pintu Masjid.

Kaki ini terus melangkah melewati beberapa anak tangga karena Bab As Salam ini melintas dibawah Mas'a atau areal Sa'i. Dari Bab As Salam tidak dapat langsung melihat Ka'bah. Baru setelah melangkah beberapa langkah dan naik beberapa anak tangga akhirnya nampaklah bangunan yang pertama kali dibangun dan selalu dalam penjagaan Alloh. Batu hitam yang dilingkupi oleh kain hitam itu berdiri kokoh dengan ribuan orang berthawaf disekelilingnya.

Dari Bab As Salam jika ditarik garis lurus ke Ka'bah akan melintasi Maqom Ibrohim dan lintasan awal thawah ada di sebelah kiri Maqom Ibrahim, lurus dengan hajar aswat. Karena kami masuk dari Bab As Salam yang lurus dengan Maqom Ibrahim dan kami tidak mungkin untuk melawan arus thawaf, akhirnya kami harus mengitari ka'bah dulu menuju rukun hajar aswat untuk memulai thawaf umrah kami.

Jika dilihat dari luar areal thawaf lautan manusia memang nampak berjubel, namun setelah kami coba masuk dan mengikuti arus semuanya terasa lapang. Ya nggak lapang-lapang amat, tapi setidaknya cukuplah bagi kami membentuk barisan mengular 11 orang tanpa terputus.

Mata ini tak lepas dari bangunan hitam berselimutkan kiswah tadi. Hingga tak terasa hampir satu putaran kami mengitari pusat ibadah umat muslim tadi dan tiba di rukun hajar aswad tempat memulai thawaf. "Bismillahi Allohuakbar !" kaki kanan ini melangkah mulai berthawaf mengikuti jejak Nabiyullah Ibrahim melepaskan semua hal di diri ini, menyerahkan dan mengembalikan semua kepada pemilikNya. Dengan NamaMU yang Maha Besar.

Jika membaca dari pengalaman jemaah haji saat pertama kali melihat ka'bah kebanyakan dari mereka bercerita bahwa air mata yang menetes. Tapi hal itu tidak berlaku bagi saya. Dari pertama kali bayangan ka'bah masuk lensa mata saya dan terekam di otak saya, air mata ini tidak menetes sedikitpun. Bahkan ketika putaran pertama thawaf selesai, belum ada air mata yang menetes.

Namun diputaran kedua, selepas Maqom Ibrohim, air mata akhirnya tak terbendung juga. Tumpah ruah mengalir. Saya merasakan seolah sedang dipeluk olehNYA, dan ketika saya mulai mengingat dosa-dosa saya semakin tumpahlah air mata saya. Saya merasakan kehinaan yang luar biasa ketika menginmgat dosa-dosa dan membandingkan dengan karunia yang telah DIA karuniakan. Dan saya rasakan pelukanNYA semakin erat memeluk diri ini sambil tak henti-hentinya diri ini mengingat dosa dan memohon ampunanNYA. Bibir ini hanya mampu berucap "Alloh Alloh Alloh". Buyar sudah beragam keinginan dan doa-doa yang sudah saya persiapkan dari tanah air. Sudah tak ada lagi yang saya perlukan ketika merasakan dekapan rahmatNYA yang begitu luar biasa.

Badan ini basah penuh keringat, beberapa kali kakak saya membetulkan kain ihrom yang saya kenakan yang sudah tidak keruan bentuknya. Saya sudah tidak peduli. Saya merasakan Alloh begitu dekat dan begitu hangat menyambut kami semua. Semua yang datang memenuhi panggilanNYA. Hingga tak terasa, 7 putaran tergenapi. Belum puas rasanya diri ini merasakan nikmat yang pertama kali saya rasakan seumur hidup saya. Namun ibadah haruslah sesuai ketentuan. Jika diperintahkan 7 kali maka tak ada alasan untuk menambahnya jadi 8 pulatan atau lebih.

Sesuai ilmu manasik, ketika putaran akhir, sengaja kami melipir menjauhi ka'bah dan begitu selesai putaran ke-7 posisi kami sudah ada di pinggir areal thawaf. Keluar areal thawaf menuju bukit Shafa. Ingat, meski akan keluar areal thawaf sebaiknya tetap mengikuti arah thawaf dan jangan memotong arus thawaf karena bisa jadi akan ada yang terdzolimi dengan ulah anda ini.

Tidak sulit untuk menemukan bukit shafa, banyak papan penunjuk atau jika tidak mau repot, ikuti saya arus jemaah lain. Begitulah uniknya Islam, meski beragam Madzhab namun tata pelaksanaan ibadahnya adalah sama. Sa'I dimulai dari bukit Shafa. "inna Shofa wal marwah innal sa'a irillah"

Tergambar dalam pikiran saya perjuangan Siti Hajar ketika berikhtiar mencarikan air bagi anaknya Ismail. "Ya Alloh jadikan keteladanan perjuangan Siti Hajar adalah hal yang dapat hamba teladani dan ikuti"