Sunday 31 October 2010

Ketika Pertolongan Alloh itu Begitu Dekat

Saya adalah salah satu jemaah haji mandiri yang berangkat bukan dari lokasi domisili saya. Saya tinggal di Jakarta dan berangkat dari Bondowoso melalui embarkasi Juanda, Surabaya. Prkatis saya tidak mernah mendapatkan materi manasik haji secara khusus baik dari yayasan (secara saya ngga ikut yayasan / KBIH) maupun dari Departemen Agama karena ngga mungkin saya pulang kampung hanya untuk mengikuti manasik haji (pertimbangan financial tentunya :D)

Alhasil saya belajar manasik dari buku, blog, artikel di berbagai situs internet serta dari pengalaman haji beberapa sahabat dan keluarga. Kesempatan silaturahim Idul Fitri merupakan mementum yang pas untuk banyak belajar dari pengalaman orang lain.


Berbeda dengan kakak saya yang bisa mengikiuti manasik haji regular yang diadakan oleh Departemen Agama Kabupaten maupun yang diadakan swadaya oleh ikatan alumni haji. Untuk menjembatani hal ini yang kami lakukan adalah berusaha saling membagi segala ilmu dan informasi seputar tata pelaksanaan haji baik dengan tujuan menghindarkan pertentangan perbedaan tata pelaksanaan ketika pelaksanaan haji di tanah suci kelak.


Pada mulanya semua berjalan mulus, tidak ada perbedaan yang berarti dari manasik haji yang saya dapatkan dan kakak saya dapatkan. Semua masih bisa seiring sejalan, kalaupun ada perbedaan bukanlah hal yang mayor dan masih dapat ditolerir. Hingga sampai pada bab tanazul (tarwiyah / menetap di Mina pada tanggal 8 Djulhijjah), mabit di muzdalifah, waktu pelontaran jamarat, dan pengambilan nafar awal.tsani.


Dari banyak literatur yang saya baca dan kaji, dalam melaksanakan haji, Rasul yang hanya berhaji sekali seumur hidupnya, beliau menetap di Mina pada tanggal 8 dzulhijjah sebelum bertolak ke arafah pada tanggal 9 dzulhijjah. Masalah terjadi ketika ternyata pemerintah Indonesia tidak memfasilitasi hal ini, Semua jemaah Indonesia yang dikoordinir Departemen Agama langsung dibawa di Arafah pada tanggal 8 Dzulhijjah dan bermalam di sana. Hal ini lah yang disosialisasikan pada waktu manasik haji oleh Departemen Agama. Dan hal ini pula lah yang dipegang teguh oleh kakak saya.


Mabit di muzdalifah, yang ditanamkan oleh Departemen Agama adalah sah bermalam di Muzdalifah walau hanya lewat tengah malam (tidak sampai subuh). Sedangkan yang saya pahami adalah selepas shubuh hingga syuru' Rasul melakukan wukuf lagi di Muzdalifah jadi menurut hemat saya, sayang jika waktu mustajab ini dilewatkan begitu saja.


Waktu lontar jamarat baik di jumrah aqobah maupun 3 jamarat di hari tasyrik serta pengambilan waktu nafar awal/tsani juga tak pelak menimbulkan pertentangan. Yang saya inginkan adalah maksimal dalam beribadah, ambil waktu terbaik sesuai yang Rasul contohkan karena dari beliaulah tata peribadatan dicontohkan.


Hanya ada satu jalan untuk dapat melaksanakan tata manasik sesuai apa yang saya pelajari diatas, yaitu "keluar dari rombongan". Tentu saja argumen-argumen saya tentang pentingnya berhaji sesuai dengan apa yang Rasul contohkan dapat dengan mudah dipatahkan dengan berbagai alasan, misalnya : kemungkinan tersesat, resiko kecelakaan yang tinggi (ingat tragedi mina yang memakan banyak korban), hingga pada argumen 'jangan takabur dengan ingin sempurna dalam berhaji, ikuti saja aturan pemerintah'


Hingga suatu ketika, siang hari diwaktu kajian dzuhur di Mushala At Tarbiyah KPPTI Lt. 23 secara pas Alloh menetapkan kajian dzuhur diisi oleh Ust. Ade Purnama dengan tema menggapai haji mabrur. Secara pas pula beliau menggambarkan bagaimana tata cara pelaksanaan haji yang Rasul contohkan dan semua sama persis seperti yang saya pelajari dan saya idam-idamkan. Tangan bersambut, Ust. Ade Purmana adalah pembimbing haji dan juga akan berangkat membimbing haji tahun tersebut. Saya utarakan masalah saya dan dengan tersenyum beliau hanya menjawab "gabung saja dengan rombongan saya, ini nomor ponsel saya" ... Alhamdulillah ... dan tak lupa saya juga meminta nomor kloter dan lokasi pemondokan khawatir nomor ponsel beliau tidak berhasil saya hubungi.


Saya sampaikan berita ini kepada kakak saya, namun tidak semudah itu meyakinkan kakak saya sebab meninggalkan rombongan utama bukan pilihan mudah bagi kakak saya karena sudah begitu banyak rencana yang akan dilaksanakan rombongan dan kakak saya. Perdebatan sengit hingga sampai klimaks pada kesepakatan saya tetap pada rencana saya dengan semata-mata mengikuti sunnah Rasul dan kakak saya tetap pula pada rencananya.


Saya sedih, tapi berusaha mengembalikan semuanya pada Alloh. Dan sms dari Ust Ade dari nomor berawalan +966 (kode negara KSA) sedikit menghibur saya, "ini Ust Ade dari arab, ini nomor saya selama di saudi".


Hingga suatu siang, sepulang dari sholat jum'at, di Mahbas Jin (terminal transit bus khusus jamaah) ada seorang jemaah haji bertanya pada rekan satu regu saya (mas Agus), "nggak ingin tanazul mas ? saya lagi cari temen, rombongan saya nggak ada yang bertanazul" rekan saya menjawab "iya, sebenarnya saya ada kenalan salah satu KBIH Maqdis Bandung, tapi rombongan mereka belum tiba" pembicaraan berlanjut dan diakhiri dengan saling tukar nomor ponsel dan "hubungi saya ya kalau sudah ada kabar"


Terus terang saya hanya terdiam saat pembicaraan diatas, saya belum berani mengutarakan rencana saya untuk juga bertanazul dikarenakan saya sendiri belum berhasil menemui Ust. Ade Purnama. Malam harinya, saya segera menghubungi Ust. Ade dan janjian untuk bertemu. Sejak tiba di Makkah saya lebih disibukkan dengan penyesuaian awal hingga belum sempat berhubungan dengan beliau. Dan saya pun tersenyum dengan balasan sms dari beliau bertuliskan "ana mengisi kajian ba'da shubuh di lt.3 haram depan hilton, ketemuan disana saja"


Keesokan harinya, dengan modal nekat, ba'da shubuh bersama kakak saya mengitari sebegitu luasnya pelataran lt. 3 Masjid Al Haram, dan alhasil bertemulah kami dengan Ust. Ade. Alhamdulillah...dan saya sampaikan lagi keinginan saya bergabung dan harapan saya untuk dapat mengajak jamaah lain. Gayung bersambut, semua lancar dan yang paling saya gembirakan adalah kakak saya begitu mudah berubah pikiran dan menyatakan mau berpisah dari rombongan utama selama pelaksanaan haji.


Kegembiraan tak hanya sampai disitu, setelah pertemuan dengan Ust. Ade, segera saya sampaikan pada Mas Agus dan beliau lebih memilih bergabung dengan saya dikarenakan belum berhasil menghubungi KBIH Maqdis Bandung dan Mas Agus pun langsung menghubungi jemaah yang ingin bertanazul sesuai pembicaraan di Mahbas Jin tempo lalu.


Subhanalloh, Allohlah yang Mahasempurna mengatur segalanya, ternyata jemaah yang ingin bertanazul tadi adalah suami teman kakak saya dan juga satu kloter dengan saya dan mas Agus. Mengetahui hal ini semakin mantaplah niat kakak saya berhaji sesuai sunnah. "jadi ada temennya" ungkap kakak saya ....


Dan segala persiapan-pun dijalankan, dan sejak saat itu, kami memiliki dua rombongan ... indahnya persaudaraan.


Subhanalloh, Alloh Mahadekat pertolonganNYA, ketika segalanya dipasrahkan, maka segalanya akan begitu mudah dan indah dijalani ...

Foto Rombongan "dadakan" Al Qudwah Haji dan Umrah 2009

Saturday 30 October 2010

Menanti Jamuan Alloh

Bagi jemaah haji gelombang 1 maupun gelombang 2, tentunya akan ada masanya menunggu beberapa saat di makkah sebelum menjalankan puncak ibadah haji yaitu wukuf di arafah.

Pengalaman saya yang menjadi jemaah haji gelombang 2 akhir yang tiba di Makkah seminggu sebelum wukuf , waktu menunggu di Makkah sebelum puncak haji tergolong singkat. Sisi positifnya, kondisi tubuh masih relatif fit karena baru datang dan belum ada aktifitas yang berarti, namun sisi negatifnya adalah belum memahami benar kondisi Makkah.

Karena kedatangan kami ke Makkah satu minggu sebelum puncak haji, praktis kondisi Makkah sudah sangat ramai dengan jemaah haji dari semua penjuru dunia. Kondisi Masjid Al Haram juga sudah dapat dikatakan ramai dan bertambah ramai setiap harinya.

Dari pengalaman beberapa sahabat dan keluarga yang telah berhaji, seminggu menjelang wukuf , untuk menjaga stamina sebaiknya tidak perlu memaksakan diri untuk selalu melaksanakan sholat wajib di Masjid Al Haram. Terutama untuk yang lokasi pemondokannya jauh. Saya sendiri setelah wukuf hanya diwaktu subuh saja ke Masjid Al Haram. Sebab hanya diwaktu shubuh saja kondisi bis jemputan yang sedikit lenggang.

Shubuh memang waktu yang pas sebab range waktu keberangkatan jemaah dari pondokan ke masjid cukup lama, yaitu dari sekitar jam 2 hingga jam 4 pagi. Sehingga relatif lengang. Untuk kembali ke pemondokan juga relatif panjang waktunya. Dari ba'da shubuh hingga sekitar jam 8 pagi. Semakin siang semakin sepi. Saran saya, berangkat menjelang jam 2 atau jam 3 sehingga bisa menjalankan sholat malam dan kembali ke pemondokan menjelang jam 7.30 pagi sehingga dapat menjalankan sholat syuru' maupun dhuha.

Mengapa shubuh adalah waktu yang pas ? Sebab di waktu sholat wajib lainnya kondisi bus sudah sangat penuh sesak. Pengalaman saya yang pernah mencoba untuk sholat jumat cukup menguras tenaga. Berangkat sekitar jam 10 pagi dari Azziziyah Janubiah menggunakan bus jemputan sudah cukup ramai. Terlebih di terminal Mahbas Jin (untuk transit ke bis khusus yang disediakan kerajaan saudi -- bus khusus masing-masing negara hanya boleh sampai Mahbas Jin ini). Sampai di Masjid juga harus putar-putar untuk cari tempat yang sedikit lengang. Hingga kepulangan saya, saya masih belum menemukan tempat yang pas untuk sholat jum'at.

Dikarenakan perjalanan dari pondokan ke Masjid Al Haram yang begitu menguras tenaga, maka kita harus mengantisipasi jangan sampai kondisi tubuh melemah menjelang puncak haji. Perbanyak buah atau jus buah untuk menjaga kondisi tubuh tetap prima. Untuk masalah makanan, nasi putih, abon, dan mie instan adalah menu wajib setiap hari ditambah dengan ayam khas turki untuk memenuhi nilai gizi.

Perbanyak istirahat untuk menjaga kondisi tubuh menjelang jamuan Alloh yang luar biasa disaat Alloh akan turun ke langit dunia dan menjawab semua doa saat 9 dzulhijjah nanti ...